Selasa, Juli 05, 2011

ayo kem-(BALI)-kan!

Pasca melihat pemberitaan yang sempat santer bahwa Indonesia menjadi salah satu tempat syuting film-film barat, ada dua hal yang ada di pikiran saya. Yang pertama ialah Indonesia memang beruntung sebagai tamannya tempat-tempat indah sehingga tidak mengherankan kalau banyak sutradara ataupun produser film asing yang kepincut dan memilih Indonesia sebagai pengisi background dalam film mereka. Hebat ya setiap pulau maupun daerah di Indonesia memiliki destinasi wisata sendiri yang sudah tidak terhitung angkanya.
Namun setelahnya saya berpikir tentang hal kedua yaitu apa iya untuk ke depannya Indonesia masih bisa tetap dipercaya untuk menjadikan lahannya sebagai tempat bernaung proses perfilman atau sorotan pariwisata lainnya?


Jawabannya bisa iya dan bisa tidak.


Siapa coba orang Indonesia yang tidak kenal Bali?
Yakinlah saya hampir semua orang tau Bali (jika ada yang tidak tau Bali mungkin dia hanya khilaf - eheheh). Semua juga tau tidak cuma di Indonesia tetapi orang-orang di luar Indonesia sana tau siapa itu Bali, malah mungkin lebih tau tentang Bali karena mereka lebih sering berlibur ke Bali.
(Who is Bali?)


Mau tidak mau pariwisata di Indonesia sudah diidentikkan dengan Bali. Surga pantai dan tradisi budaya setempat memang menjadi magnet tersendiri bagi kalangan pelancong domestik dan manca negara. Bahkan beberapa waktu belakangan tujuan pariwisata kita yang satu ini sedang hot-hot-nya dibahas di berbagai media. Antusiasme perfilman barat mulai menjajal Indonesia (baca : perfilman Hollywood) tepatnya di Pulau Dewata. Film Eat, Pray, Love yang dibintangi Julia Roberts yang mengambil setting di Ubud cukup membawa berkah walaupun sempat memancing demo di mana warga tidak terima kedatangan kru film yang ternyata maju satu bulan lebih awal. Animo masyarakat lain terlihat menjadi heboh seketika, bahkan jauh sebelum filmnya beredar secara resmi. (Inilah sindrom di Indonesia yang selalu gempar terhadap "bau-bau" dari luar negeri).


Bali telah diakui dunia, bertaraf internasional, dan berulang kali didengungkan namanya dalam media dan penerbitan buku-buku pariwisata. Sebagian besar penulisnya menyatakan kekaguman akan keindahan Bali yang dianggap mendekati utopia. Sebagai surga-nya pulau indah dunia, Bali memang terkenal sangat eksotis. Itu dulu, lalu sekarang?


Baru saja beberapa waktu lalu saya membaca liputan berita di Bali yang memuat foto sampah yang me"lumbung". Miris. Sampah. Ya, tentang sampah di Bali yang ternyata kurang diperhatikan. Sekilas foto yang saya lihat seperti gambar di bawah ini.







Penampakan sampah tepi pantai di Bali.









Seorang penulis mengungkapkan liburannya di Bali sekitar awal tahun 2011 dan mencatakan apa yang ia dapatkan dalam tulisan Holidays in Hell: Bali's Ongoing Woes yang dipublikasi oleh majalan TIME dalam edisi bulanan serta situs portalnya edisi bulan April 2011. Membaca judulnya saja jujur saya sudah prihatin. Pemberitaan ini kemudian menjadi issue hangat di mana rating Bali yang sebelumnya dinaikkan oleh perfilman Hollywood, eh beberapa saat setelahnya terpaksa dihempaskan oleh pemberitaan internasional lainnya.


Dikatakan oleh penulis, Andrew Marshall, bahwa permasalahan yang terjadi di Bali sudah begitu kompleksnya mencakup masalah kemacetan (yang disebutkan mirip dengan macetnya ibukota Jakarta), seringnya pemadaman listrik, krisis air bersih, plankton dan bakteri sebagai biang infeksi yang banyak "berkeliaran" di danau dan lautan akibat sampah, pembangunan infrastruktur yang tidak imbang dengan pembangunan fasilitas hotel dan perbelanjaan yang sporadis, hingga ancaman keamanan terhadap wisatawan asing.

Terlepas dari benar tidaknya kabar ini karena saya memang tidak sedang berada di Bali, sebagai orang Indonesia yang notabene sangat membanggakan Bali sebagai "pamor"nya devisa pariwisata negara, saya merasa prihatin.

Saya bukanlah orang Bali, bukan pula orang yang sering pulang-pergi ke Bali, namun saya selalu mengamati apa saja yang terjadi pada Indonesia - terlebih di mata dunia - dan itu berarti Bali termasuk dalam salah satunya.

Perkara sampah memang sudah seharusnya menjadi masalah serius yang butuh perhatian lebih dari Pemerintah Provinsi Bali dalam memberikan teladan bagaimana mengelola pariwisata negara, karena memang Bali sudah menjadi panutan bagi pariwisata daerah lain untuk berkembang (setuju?). Walaupun Bali bukan hanya berkutat pada Kuta, Ubud, dan Nusa Dua misalnya, tetapi secara tidak langsung persepsi masyarakat menyebut Kuta, Ubud, dan Nusa Dua itu seperti telah mewakili Bali secara keseluruhan. Apa yang terjadi di beberapa daerah tersebut akan berimbas pada penampilan Bali di mata dunia.

Menurut data, perihal pengelolaan sampah di Bali masih sekitar 60% saja yang sanggup ditangani. Hal ini tertera pada situs beritabali.com yang mana menyebutkan bahwa penanganan masalah sampah baru terbatas pada peletakan sampah tanpa penanganan lebih lanjut seperti pemisahan menurut kategorinya. Angkutan dan pekerja sampah dinilai masih sangat kurang mengingat bejubelnya pendatang belum sebanding dengan persiapan penanganannya. Memang, masalah sampah menjadi polemik tersendiri yang bagi saya cukup menggemaskan, tidak hanya yang terjadi di Bali.

Pelonjakan ketenaran Bali di mata dunia rupanya belum diiringi dengan pelonjakan kesadaran masyarakat yang ada di sana apakah itu wisatawan, pengelola, atau pemerintah provinsi? atau mungkin juga masyarakatnya? Nyatanya pemberitaan mengenai sampah ini cukup membuat geger terutama Pemprov setempat. Ayo Pemprov mana suaranya!

Mengapa saya katakan Pemprov dan bukan pihak lainnya? Sebagai pemegang kewenangan yang dominan dalam ranah pariwisata jelas Pemprov memiliki andil sangat besar dalam mengelola sumber daya yang ada. Di mana-mana dalam lingkup daerah pemerintah-lah yang selalu diandalkan pertama kali untuk bergerak terlebih dahulu. Sebenarnya ini terdengar klasik dan bisa dibantah, karena semakin modern, masyarakat sudah semakin cerdas menyikapi fenomena yang terjadi, jadi sebaiknya pun tidak perlu menunggu pemerintah beraksi dulu. Tapi walau bagaimanapun kekuasaan tetaplah berada di tangan pemerintah. Itulah mengapa saya jadi gemas sendiri melihat pemerintah yang kadangkala (atau sering?) kurang responsif terhadap kejadian yang "berhamburan" di sekelilingnya. (Banyak saya gunakan tanda kutip karena memang bertujuan untuk menekankan).

Sudah seharusnya kesadaran (lagi-lagi tentang kesadaran) semua pihak berkecimpung dalam tanggung jawab menjaga kelestarian lingkungannya masing-masing. Pemprov dengan aksi nyata wacana-wacana perbaikannya (yang saya harap sudah berjalan walaupun terlihat atau tidak terlihat), wisatawan yang lebih mawas diri terhadap perilakunya, dan pengelola yang lebih perhatian terhadap apa yang dikelolanya. Dan juga jika ada pihak lain yang belum tercantum. Semua terangkum dalam kaitannya dengan SAMPAH.





Penampakan (lagi) sampah di Pantai Kuta.
Foto ini dipublikasikan pada Januari tahun 2010.
(Wow sudah lama rupanya kasus per-sampah-an ini)





Sudah sampai bosan mungkin saya melihat pemberitaan pariwisata yang tersandung masalah sampah. Saya pernah melakukan riset tentang sampah, meskipun dominan orang hanya menganggapnya sebagai angin lalu namun hal itu tidak bisa dianggap kecil. Hubungannya dalam ranah yang lebih luas akan berkembang dalam kaitan kesehatan manusia dan lingkungan. Apalagi yang dapat disanggah jika kedua hal itu rusak karena hal kecil bernama sampah?

Ini adalah pembelajaran untuk skala pariwisata yang baru saja tenar di kancah internasional. Untuk ke depannya, semoga semua pihak yang merasa "masih" peduli dengan lingkungan tempat ia berdiri akan lebih peka bahwa lingkungan ada untuk kita, dan sebaliknya, kita pun seharusnya ada untuk lingkungan.


Ayo selamatkan Bali dan pariwisata lainnya dimulai dari hal-hal kecil yang kita mampu, minimal membuang sampah pada tempatnya!

2 komentar:

  1. Namanya sampah itu tidak diatasi kok di sana suuuulit,warga masyarakat(buka sampah yg ditangani selain warga masyarakat lhoooo)sdh menggunakan cara yg pasti berhasil mengatasi sampah,buktinya(buka)teknologitpa.blogspot.com

    BalasHapus
  2. teknologi pemusnah sampah(teknologitpa.blogspot.com)cara yg mesti tepat sasaran dlm mengatasi persoalan sampah dimanapun,berapapun juga kondisi apapun(basah busuk berbau yg menjijikkan)tidak ada barang yg sulit diatasi dengan cara mudah dan mesti berhasil,sekarang penanggung sampah tinggal mau apa NGGGAK ? kalo nggak wah wah wah bisa dikatakan KETINGGALAN KERETA.Sampah yg ditanggung warga masyarakat diatasi dengan cara ini mesti berhasil kok yg lainya MACEEET MELULU.

    BalasHapus

free my soul!

free my soul!
selalu bergerak ... bergerak ... dan bergerak!

Popular Posts